“mau kemana lagi kamu met? Kapan skripsimu ?!”
aku bosan dengan sapaan yang keluar dari mulut itu, keluar rumah hanya untuk membeli shampoo saja di tegur masalah skripsi. Wong edan !
“Bu! Sabar saya juga mau cepet lulus terus kerja buat Ibu! Emang ibu fikir skripsi itu gampang?”
“kamu ini! Kamu yang seharusnya mikir met! Memang kuliahmu itu gak mahal?!”
“Oh.. ternyata selama ini ibu gak ikhlas kuliahin saya?”
Aku melaju melanjutkan arah tujuan hidupku kedepan gerbang meninggalkan Ibu yang sibuk dalam sebuah kemarahan, aku sudah tidak perduli apa kata orang pagi ini sudah ada keributan di sela sela ruangan rumahku.
***
Panas sekali hari ini, tetapi mau tidak mau aku harus terus melangkah dengan sebatang rokok dan jacket jeans ini, lalu lalang mobil angkot dan teriakan para kondektur semakin menjiwai saja bahwa masa depanku akan seperti ini jika skripsi tidak pernah jadi. Aku tetap berjalan tujuanku memang ingin menemui buku buku yang di jual murah di area bantargebang.
“beh, buku!”
“buku ape ye? Buku kan banyak tong!”
“tentang skripsi”
“skripsi? Apa si skripsi?
Aku hanya tersenyum mendengar salah satu orang betawi tua yang satu ini, salah memang jika aku mengucapakan kata skripsi pada orang awam seperti bapak ini.
“buku buku kuliah beh!”
“Oh elu tukang Ingsinyur ye? Ini nih disini lu cari aje deh ye! Gue kaga ngarti.”
Aku hanya menganggukkan kepala lalu tersenyum “tukang Ingsinyur” mungkin bagi mereka itu adalah sebuah title sarjana atau mahasiswa, dalam pencarian bergelut dengan buku buku yang berdebu aku menemukan salah satu buku yang berjudul “Sarjana Muda”. Aku lebih asik membaca ini yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan skripsiku. Tetapi tiap detik aku merasakan ketidaknyamanan saat membaca.
“ Beh! Bau apa ya? Saya gak konsentrasi baca”
“Noh! Lu liat gunung sampah setinggi itu!”
“gunung sampah.? bau sampah kali beh?”
“Lah udah setinggi gunung sampahnya.lu pikir aje deh baunya semana”
“Tapi Kan jauh beh ko baunya kesini?”
“jangankan disini yang di Rawa Lumbu deket kalimalang disono aje yang lebih jauh pada kebauan tong!”
“kalo di areal gunung sampah itu gimana ya. Bau banget dong beh?”
“Hahaha, lu cobain aje dah kesono!”
Bapak tua itu ketawa geli saat melihat wajahku yang sedikit aneh, memang aku tidak begitu memahami daerah sekitar Bantargebang ini, kuliah menyita banyak waktuku berada di Jakarta sedangkan tanah kelahiranku sendiri aku tidak tahu bagaimana keadaannya. Karena rasa penasaranku tentang gunung sampah itu aku lalu bangkit dan melihatnya.
“Beh! Ini buku gue pinjem dulu ye?
“iye dah lu bawa sono, ati ati tong!”
Aku lalu meninggalkan pasar yang sesak penuh dengan bising dan keramaian, wajah wajah pribumi yang berjualan sangat ramah terlihat, aura senyumnya masih sangat kental menyejukkan suasana, Bekasi ini ramah sekali rasanya.
Sambil menunggu transportasi yang lewat aku terduduk di samping tiang yang sudah tak terawat lagi. Dan menunggu, terlihat seorang pemuda dengan motornya yang juga antusias melihat jalan raya yang ramainya tak kalah dengan debu yang berterbangan.
“Bang! Maaf bukunya jatuh!”
“Oh.. iya trimakasih!”
“nunggu apa bang?”
“ah? Saya nunggu ilham. Hehe”
“Oh”
“Kok Oh?”
“Temen atau keluarga?”
“Hahaha , Ilham yang saya maksud itu Hidayah dari Allah”
“Oh.. haha.. Kenapa nunggu Ilham di jalan raya?”
“Hehe, engga. Saya mau pergi Cuma bingung mau kemana”
“saya anter bang!”
“jangan! Ngerepotin aja”
“saya kan tukang Ojek!”
“Tukang Ojek?”
Lalu aku tak sengaja menelan asap rokokku sendiri seperti sedang terkejut mendengar petir yang menyambar. Karena sedari tadi aku fikir Pria muda ini adalah seorang Rider yang sedang menunggu seseorang.Tetapi aku salah besar dan tertipu Tampang yang Oke dan kulit yang bersih tidak mengisyaratkan sedikitpun tentang Jabatannya.
“jangan kaget! Mari saya antar!”
“Maaf ya”
“Gak apa apa, Abang Sudah sarjana?”
“Belum”
“Tadi baca bukunya seperti itu?”
“Gue mau jadi sarjana dalam usia muda, mau cari kerja yang enak!”
Lalu ia hening sejenak, aku mulai merasakan ada sesuatu yang salah.
“Sarjana bukan penentu kita untuk bekerja enak bang! Lihat saya.”
“lu Sarjana? , kenapa ngojek?”
“Ya itulah, Sarjana bukan title yang mengharuskan kita untuk mempunyai jabatan kelas elite!”
“Tapi, seenggaknya!”
Dia hanya terdiam dan mengikuti arus jalanan yang tenang, tetapi entah kenapa suasana hati antara aku dan dia semakin merasa tidak nyaman.
“Abang Jurusan apa?” Tanya dia seketika dalam lamunan.
“gue jurusan Kesejahteraan Sosial, Cuma telat 2 smester, gue selalu gagal buat skripsi karena itu gak mudah! Sulit mencari yang berbeda, ibu gue gak pernah bisa ngerti maunya skripsi gue itu seperti apa! Yang dia mau skripsi gue tuntas pas sama seperti orang lain!”
“kalau begitu kita sama!”
“sama?”
“iya!”
“apanya?”
“Jurusannya bang!”
“Oh ya?”
“mau buat skripsi harus meninjau langsung biasanya, saya sih berbagi cerita aja sama si abang”
“hahaha… cerita? Lo aja sarjana jadi tukang ojek!”
Lalu seketika motor yang terhenti mengejutkanku dalam tawaku yang baru saja berakhir.
“Loh ? ko berenti!”
“Abang udah menghina saya!”
Baru saja aku ingin mengetahui sebab mengapa dia menjadi seorang tukang ojek, tetapi aku sadar bercandaanku memang tidak lucu dan bahkan terdengar kasar. Tetapi aku tetap ingin mengejarnya, karena saat aku melihatnya aku seperti mempunyai sebuah ikatan magnet yang secara tiba tiba datang dan memberikan sebuah inspirasi yang aku cari selama ini untuk menjadikannya sebuah skripsi. Aku menelusuri ruang ruang Bekasi yang sangat padat, aku mengejar motor itu dengan terengah rengah. Tetapi aku memang harus menemukannya dan meminta maaf padanya. Sambil berlari aku mengucapkan banyak kalimat untuk menghentikannya.
Dia berbelok kearah kanan, memasuki sebuah wilayah yang baunya sangat menyengat bahkan sangat busuk. Aku lalu tertegun melihat setinggi ini sampah yang selama ini banyak di perbincangkan, aku menutup hidungku dengan jacket jeans karena sungguh aku tak kuasa mencium bau yang teramat sangat!
“kalo tahu bau jangan kesini!”
Tiba tiba seorang bapak mencetuskan kata kata itu, aku tersadar sekali lagi bahwa aku memang telah melakukan hal yang salah. Aku mencoba untuk menahan nafas dan terus mengejar.
“emak lihat laki laki tadi lewat sini?”
“Oh kesana!” emak itu menunjuk si dia yang aku kejar.
Aku terus mencari jalan dan tak sengaja melihat di sekeliling banyak sekali para pekerja pemulung sampah yang mengais sampah kembali, aku melihat banyak orang di atasnya hampir di ambang bahaya saat satu truk sampah datang lagi di hadapan mereka, bahkan nyaris membunuh mereka jika tidak waspada. Seperti indra penciuman mereka telah mati karena tuntutan ekonomi. Oh begini keadaan Bekasi dari sisi kiri? Aku lalu mengerjarnya lagi yang masih terlihat dari jauh. Berharap Semakin dekat aku mengejarnya.
“Lihatkah abang aktifitas mereka?”
Sambil berlari aku membalasnya.
“Ya. Gue lihat, kenapa harus di pertanyakan?”
“apa mereka mau bekerja seperti itu,?”
“siapa yang mau dengan keadaan seperti itu!”
“kenapa mereka lakukan?”
“hm…”
Dia semakin melaju kencang, aku tetap mengejarnya aku menghadapkan wajahku pada sisi kanan jalan, dua buah gedung megah dimana banyak wanita memakai baju putih dan bawahan hitam menggendong tas yang besar dan berlarian menuju bus. Mereka di hitung satu persatu sebelum masuk ke dalam bus. Beberapa anak kecil di seberang gerbang gedung megah itu melambaikan tangannya pada seorang ibu yang mengenakkan jilbab di sebuah bus. Aku nyaris sesak saat seorang anak kecil itu membenarkan lengan bajunya yang miring hingga bahunya terlihat dalam buaian sang nenek.
“Berhenti!”
Aku menghentikan langkahku untuk tidak lagi mengejarnya, tetapi apa daya dia seperti ingin menunjukkan sesuatu lagi padaku. Mau tidak mau aku tetap mengejarnya dalam guyuran keringat yang tak lagi sedikit.
“Bagaimana menurutmu? Apakah para TKW itu menginginkan pekerjaan itu?”
“Tidak! Mereka mencintai anak anak mereka!”
“Lalu kalau mereka mencitai anak anaknya, mengapa mereka tinggalkan keluar negri?”
“hm”
Sesaat aku merindukan Ibuku, apa daya aku tetap berlari mengikuti putaran rodanya.
“sampai kapan aku harus mengikutimu?”
“aku tidak meminta kamu untuk mengikutiku!”
“Lihat sebelah kiri abang!”
“Apa mereka dan siapa mereka?”
“Anggota Dewan!” aku menjawab dengan begitu kepasrahan raga
“Pekerjaan mereka memang sangat mengesankan dan terpandang! Tapi Apa arti title mereka di mata orang orang kelas bawah yang baru saja abang lihat?”
“entahlah” aku menghentikan langkah ini benar benar berhenti.
“Pekerjaan yang mulia adalah pekerjaan yang mengatas namakan kebenaran dan kejujuran untuk mencukupi kebutuhan, title memang sebuah kedudukan yang membuat orang lain segan, tetapi… kedudukan yang menghantarkan seseorang kesebuah pekerjaan yang mengatasnamakan kehormatan kebesaran karena status belaka hanya menghantarkan mereka pada sebuah tempat yaitu keserakahan memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak benar! Sekarang abang fikir , apakah Kedudukan dan kecerdasan mereka membawa kaum kaum pemulung, wanita wanita tenaga kerja, dan anak anak yang terlantar di tinggal ibunya menjadi budak di negri orang lain menjadi lebih baik lagi kehidupannya bang?? Tidak! Pekerjaan mereka lebih menyengsarakan kaum kecil bang! Sekarang… Sarjana! Menjadi tukang Ojek! Apakah itu sebuah dosa bang? Apakah itu sebuah kesalahan bang? Siapa yang ingin menjadi orang tidak berhasil bang? Tidak ada… tetapi apa daya, saya tetap mengatas namakan pekerjaan yang mulia adalah pekerjaan yang mengatasnamakan kebenaran dan kejujuran, mungkin sekarang saya adalah tukang Ojek, tetapi dunia ini berputar bang, roda hidup masih akan tetap berjalan hingga nafas saya terhenti, sarjana bukan title yang memaksa kita untuk menjadi kaum borjuis dan melakukan dosa dengan kecerdasan semata, tetapi sarjana juga bisa menjadi sebuah pembangkit semangat untuk sarjana sarjana yang lain maju dalam mensejahterahkan sesama kaum manusia!, tidak ada yang sia sia , saya tetap menjadi orang yang berilmu, meski hanya tukang Ojek! Maafkan saya bang!”
Lalu ia pergi begitu saja meninggalkan aku yang sedari tadi mendengarkan ucapan dan luapan emosinya, ya… benar sarjana memang bukan title yang memaksa kita untuk menjadi kaum borjuis, tetapi sarjana adalah title dimana manusia telah mencapai puncak pemikiran yang lebih matang dan dewasa!
“Ibu, maafkan saya bu, malam ini juga saya akan selesaikan skripsi”
“Maafkan ibu Mamet, ini semua untuk kebaikanmu”
Ya.. aku menangis tersedu di pangkuannya mengingat anak kecil yang menyaksikan kepergian ibunya entah sampai kapan dan berapa lama….
No comments:
Post a Comment
Please You comment about my Blog !
:D